Permasalahan Pendidikan Islam
Istilah “Pendidikan Islam” dipergunakan
dalam dua hal, yaitu: satu, segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau
lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa. Dua,
keseluruhan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan kegiatannya
atas pandangan dan nilai-nilai Islam.
Dalam menjelaskan arti Pendidikan
Islam akan banyak kita jumpai beberapa pandangan mengenai pengertian dari
Pendidikan Islam itu sendiri. Burlian Somad.1981, mengatakan
bahwa Pendidikan Islam adalah Pendidikan yang bertujuan membentuk individu
menjadi mahluk yang bercorak diri, berderajat tinggi menurut ukuran Alloh dan
isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan itu, yaitu ajaran Alloh. Secara
terperinci beliau mengemukakan, pendidikan itu disebut Pendidikan Islam apabila
memiliki dua ciri khas yaitu
1.
Tujuannya membentuk
individu menjadi bercorak tinggi menurut ukuran Al-Qur’an.
2.
Isi Pendidikannya
adalah ajaran Alloh yang tercantum dengan lengkap didalam Al-qur’an yang
pelaksanaannya didalam praktek hidup sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan
oleh Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan menurut Muhammad Naquib
al-Attas, (1992:18) bahwa pendidikan Islam merupakan pendidikan jasmani dan
rohani berdasarkan hukum-hukum Agama Islam menuju terbentuknya kepribadian
utama menurut ukuran-ukuran Islam yaitu suatu kepribadian muslim yang memiliki
nilai-nilai agama Islam, memiliki dan memutuskan serta berbuat berdasarkan
nilai-nilai Islam dan bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dari beberapa uraian
tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pendidikan Islam ialah
usaha dalam pengubahan sikap dan tingkah laku individu dengan menanamkan
ajaran-ajaran agama Islam dalam proses pertumbuhannya menuju terbentuknya
kepribadian yang berakhlak mulia, Dimana akhlak yang mulia adalah merupakan
hasil pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang
sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu individu yang memiliki
akhlak mulia menjadi sangat penting keberadaannya sebagai cerminan dari
terlaksananya pendidikan Islam.
Sebagai negara yang
berpenduduk mayoritas muslim, pendidikan Islam mempunyai peran yang sangat
signifikan di Indonesia dalam pengembangan seumberdaya manusia dan pembangunan
karakter, sehingga masyarakat yang tercipta merupakan cerminan masyarakat
islami. Dengan demikian Islam benar-benar menjadi rahmatan lil’alamin, rahmat
bagi seluruh alam.
Namun hingga kini
pendidikan Islam masih saja menghadapi permasalahan yang komplek, dari
permasalah konseptual-teoritis, hingga persoalan operasional-praktis. Tidak
terselesaikannya persoalan ini menjadikan pendidikan Islam tertinggal dengan
lembaga pendidikan lainnya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sehingga
pendidikan Islam terkesan sebagai pendidikan “kelas dua”. Tidak heran jika
kemudian banyak dari generasi muslim yang justru menempuh pendidikan di lembaga
pendidikan non Islam.
Ketertinggalan
pendidikan Islam dari lembaga pendidikan lainnya, menurut Zainal Abidin Ahmad
(1970:35), setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1.
Pendidikan Islam
sering terlambat merumuskan diri untuk merespon perubahan dan kecenderungan
masyarakat sekarang dan akan datang.
2.
Sistem pendidikan Islam
kebanyakan masih lebih cenderung mengorientasikan diri pada bidang-bidang
humaniora dan ilmu-ilmu sosial ketimbang ilmu-ilmu eksakta semacam fisika,
kimia, biologi, dan matematika modern
3.
Usaha pembaharuan
pendidikan Islam sering bersifat sepotong-potong dan tidak komprehensif,
sehingga tidak terjadi perubahan yang esensial.
4.
Pendidikan Islam tetap
berorientasi pada masa silam ketimbang berorientasi kepada masa depan, atau
kurang bersifat future oriented.
5.
Sebagian pendidikan
Islam belum dikelola secara professional baik dalam penyiapan tenaga pengajar,
kurikulum maupun pelaksanaan pendidikannya.
Sistem
Pendidikan Islam
Sistem pendidikan Islam merupakan solusi mendasar untuk
mengganti sistem pendidikan sekuler saat ini. Bagaimanakah gambaran sistem
pendidikan Islam tersebut? Berikut uraiannya secara sekilas.Pendidikan Islam
merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan
untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni:
Pertama,
berkepribadian Islam. Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang
Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental,
yaitu pola pikir (’aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada
akidah Islam.
Untuk mengembangkan
kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh,
sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu:
1.
Menanamkan akidah
Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut,
yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah; akidah yang muncul dari proses pemikiran yang
mendalam.
2.
Menanamkan sikap
konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara
berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang
diyakininya.
3.
Mengembangkan
kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa
mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah
islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
Kedua, menguasai
tsaqâfah Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu.
Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali dalam Ali Saifullah:
(1987:19) ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
1.
Ilmu yang termasuk
fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim,
yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam;
bahasa Arab; sirah Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis,
ushul fikih, dll.
2.
Ilmu yang
dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang
mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi,
fisika, kedokteran, pertanian, teknik.
Ketiga, menguasai ilmu
kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai
kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah
di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu
kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti
kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.
Keempat, memiliki
keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta
latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan
pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan
tugasnya sebagai khalifah Allah SWT. Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga
menjadikan penguasaan keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika
keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri,
penerbangan, pertukangan, dan lainnya.
Agar keluaran
pendidikan menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem
pendidikan yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada
satu aspek saja. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur
pembentuk sistem pendidikan yang unggul.
Dalam hal ini, minimal
ada 3 hal yang harus menjadi perhatian, yaitu : Pertama, sinergi antara
sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan
tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual
obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara
sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara
benar.
Buruknya pendidikan
anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan
persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks
bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang
buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di
tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi jika
pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah
kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum yang
terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi.
Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi
ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya.
Selain muatan
penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus
diberikan mulai dari tingkat TK hingga PT, muatan tsaqâfah Islam dan Ilmu
Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat
sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang
pendidikannya masing-masing.
Pada tingkat dasar
atau menjelang usia baligh (TK dan SD), penyusunan struktur kurikulum sedapat
mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang
mengikutinya.
Bin
al-Khaththab, dalam wasiat yang
dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya, menuliskan, “Sesudah itu, ajarkanlah
kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka
adab sopan-santun dan syair-syair yang baik.”
Khalifah
Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan
kepada Sulaiman al-Kalb, guru
anaknya, “Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu
untuk mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah
amanah. Pertama, saya mewasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya
al-Quran, kemudian hapalkan kepadanya al-Quraan (Siti Meichati, 1980:15).
Di tingkat Perguruan
Tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi
sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat
diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh.
Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan
bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan dipahami
cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Ketiga, berorientasi
pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap
ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target yang harus dicapai. Dalam
implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi
pelaksanaan pendidikan.Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Negara
Islam merupakan sebuah
sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia.
Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia.
Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang
berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem
pendidikan yang diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh
rakyat secara mudah.
Problematika Pendidikan
Islam saat Ini
Problematika
pendidikan adalah, persoalan-persoalan atau permasalahan-permasalahan yang di
hadapi oleh dunia pendidikan. Persoalan-persoalan pendidikan tersebut menurut
“Burlian Somad” dalam S.Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta (1988:12 )secara garis
besar meliputi hal sebagai berikut : Adanya ketidak jelasan tujuan pendidikan,
ketidak serasian kurikulum, ketiadaan tenaga pendidik yang tepat dan cakap,
adanya pengukuran yang salah ukur serta terjadi kekaburan terhadap landasan
tingkat-tingkat pendidikan.
Terkait dengan
ketertinggalan pendidikan Islam ini, menurut Muhaimin dikarenakan oleh
terjadinya penyempitan terhadap pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar
pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek
kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani.
Jika melihat pendapat
Muhaimin ini, maka akan tampak adanya pembedaan dan pemisahan antara yang
dianggap agama dan bukan agama, yang sakral dengan yang profan antara dunia dan
akhirat. Cara pandang yang memisahkan antara yang satu dengan yang lain ini
disebut sebagai cara pandang dikotomik. Adanya simtom dikotomik inilah yang
menurut Abdurrahman Mas’ud sebagai penyebab ketertinggalan pendidikan Islam.
Hingga kini pendidikan Islam masih memisahkan antar akal dan wahyu, serta fakir
dan zikir. Hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan paradigmatik, yaitu
kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam,
karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada konsep ‘abdullah (manusia
sebagai hamba), ketimbang sebagai konsep khalifatullah (manusia sebagai
khalifah Allah).
Selain itu orientasi
pendidikan Islam yang timpang tindih melahirkan masalah-masalah besar dalam
dunia pendidikan, dari persoalan filosofis, hingga persoalan metodologis.Di
samping itu, pendidikan Islam menghadapi masalah serius berkaitan dengan
perubahan masyarakat yang terus menerus semakin cepat, lebih-lebih perkembangan
ilmu pengetahuan yang hampir-hampir tidak memeperdulikan lagi sistem suatu
agama.Kondisi sekarang ini, pendidikan Islam berada pada posisi determinisme
historik dan realisme. Dalam artian bahwa, satu sisi umat Islam berada pada
romantisme historis di mana mereka bangga karena pernah memiliki para
pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan besar dan mempunyai kontribusi yang besar
pula bagi pembangunan peradaban dan ilmu pengetahuan dunia serta menjadi
transmisi bagi khazanah Yunani, namun di sisi lain mereka menghadapi sebuah
kenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak berdaya dihadapkan kepada realitas
masyarakat industri dan teknologi modern.
Hal ini pun didukung dengan pandangan
sebagian umat Islam yang kurang meminati ilmu-ilmu umum dan bahkan sampai pada
tingkat “diharamkan”. Hal ini berdampak pada pembelajaran dalam sistem
pendidikan Islam yang masih berkutat apa yang oleh Muhammad Abed al-Jabiri,
pemikir asal Maroko, sebagai epistemologi bayani, atau dalam bahasa Amin
Abdullah disebut dengan hadharah an-nashsh (budaya agama yang semata-mata
mengacu pada teks), di mana pendidikan hanya bergelut dengan setumpuk teks-teks
keagamaan yang sebagian besar berbicara tentang permasalahan fikih semata.
Terjadinya
pemilahan-pemilahan antara ilmu umum dan ilmu agama inilah yang membawa umat
Islam kepada keterbelakangan dan kemunduran peradaban, lantaran karena
ilmu-ilmu umum dianggap sesuatu yang berada di luar Islam dan berasal dari
non-Islam atau the other, bahkan seringkali ditentangkan antara agama dan ilmu
(dalam hal ini sains). Agama dianggap tidak ada kaitannya dengan ilmu, begitu
juga ilmu dianggap tidak memeperdulikan agama. Begitulah gambaran praktik
kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai
dampak negataif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat.
Sistem pendidikan Islam yang ada
hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja. Di sisi lain, generasi muslim yang
menempuh pendidikan di luar sistem pendidikan Islam hanya mendapatkan porsi
kecil dalam hal pendidikan Islam atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan
ilmu-ilmu keislaman.Dari berbagai persoalan pendidikan Islam di atas dapat
ditarik benang merah problematika pendidikan Islam yaitu:
1.
Pertama, masih adanya
problem konseptual-teoritis atau filosofis yang kemudian berdampak pada
persoalan operasional praktis.
2.
Kedua, persoalan
konseptual-teoritis ini ditandai dengan adanya paradigma dikotomi dalam dunia
pendidikan Islam antara agama dan bukan agama, wahyu dan akal serta dunia dan
akhirat
3.
Ketiga, kurangnya
respon pendidikan Islam terhadap realitas sosial sehingga peserta didik jauh
dari lingkungan sosio-kultural mereka. Pada saat mereka lulus dari lembaga
pendidikan Islam merka akan mengalami social-shock.
4.
Keempat, penanganan
terhadap masalah ini hanya sepotong-potong, tidak integral dan komprehensif
Solusi
Problematika Pendidikan Agama Islam
Solusi Problematika Pendidikan Islam
saat ini mencermati kenyatan tersebut, maka mau tidak mau persoalan konsep
dualisme-dikotomik pendidikan harus segera ditumbangkan dan dituntaskan, baik
pada tingkatan filosofis-paradigmatik maupun teknis departementel. Pemikiran
filosofis menjadi sangat penting, karena pemikiran ini nanti akan memeberikan
suatu pandangan dunia yang menjadi landasan idiologis dan moral bagi
pendidikan.
Pemisahan antar ilmu
dan agama hendaknya segera dihentikan dan menjadi sebuah upaya penyatuan
keduannya dalam satu sistem pendidikan integralistik. Namun persoalan integrasi
ilmu dan agama dalam satu sistem pendidikan ini bukanlah suatu persoalan yang
mudah, melainkan harus atas dasar pemikiran filosofis yang kuat, sehingga tidak
terkesan hanya sekedar tambal sulam. Langkah awal yang harus dilakukan dalam
mengadakan perubahan pendidikan adalah merumuskan “kerangka dasar filosofis
pendidikan” yang sesuai dengan ajaran Islam, kemudian mengembangkan secara
“empiris prinsip-prinsip” yang mendasari terlaksananya dalam konteks lingkungan
(sosio dan kultural)Filsafat Integralisme (hikmah wahdatiyah) adalah bagian
dari filsafat Islam yang menjadi alternatif dari pandangan holistik yang
berkembang pada era postmodern di kalangan masyarakat barat.
Inti dari pandangan
hikmah wahdatiyah ini adalah bahwa yang mutlak dan yang nisbi merupakan satu
kesatuan yang berjenjang, bukan sesuatu yang terputus sebagaimana pandangan
ortodoksi Islam. Pandangan Armahedi Mahzar, pencetus filsafat integralisme ini,
tentang ilmu juga atas dasar asumsi di atas, sehingga dia tidak membedakan
antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu Tuhan dan ilmu skular, ilmu dunia dan
ilmu akhirat. Dari pandangan dia tentang kesatuan tersebut juga akan
berimplikasi pula pada pemikiran Armahedi pada permasalahan yang lain, termasuk
juga pendidikan Islam.
Bagi Armahedi,
pendidikan Islam haruslah menjadi satu kesatuan yang utuh atau integral.
Baginya, manusia-manuisa saat ini merupakan produk dari pemikiran Barat Modern
yang mengalami suatu kepincangan, karena merupakan suatu perkembangan yang
parsial. Peradaban Islam adalah contoh lain. Keduanya dapat ditolong dengan
membelokkan arah perkembangannya ke arah perkembangan yang evolusioner yang
lebih menyeluruh dan seimbang. Hanya ada beberpa sisi saja dari kehidupan
manusia yang dikembangkan. Begitu juga halnya dengan masyarakat yang ada, pada
hakikatnya adalah cerminan dari satu sistem pendidikan yang ada saat itu.
Masyarakat saat ini
adalah masyarakat materialis yang dapat dibina dengan menggunakan suatu mesin
raksasa yang bernama teknostrutur. Di sini ada satu link yang hilang, yaitu
spiritualisme. Dengan demikian, pendidikan sebagai produksi sistem ini haruslah
mengembangkan seluruh aspek dari manusia dan masyarakat sesuai dengan fitrah
Islam, yaitu tauhid.
Pandangan filosofis
inilah yang menjadikan pentingnya kajian terhadap pemikiran Armahedi Mahzar
tentang sistem pendidikan Islam integratif, karena permasalahan pendidikan
sebenarnya terletak pada dua aspek, filosofis dan praktis. Persoalan filosofis
ini yang menjadi landasan pada ranah praktis pendidikan. Ketika ranah filosofis
telah terbangun kokoh, maka ranah praktis akan berjalan secara sistematis.
Dengan demikian, filsafat integralisme atau hikmah wahdatiyah nantinya akan
menjadi landasan idiologis dalam pengembangan sistem pendidikan integratif.
Komentar
Posting Komentar