Sosiologi Pembangunan
- Sosiologi Pembangunan
Pembangunan merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan terncana melalui berbagai macam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Bangsa Indonesia seperti termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mencantumkan tujuan pembangunan nasionalnya. Kesejahteraan masyarakat adalah suatu keadaan yang selalu menjadi cita-cita seluruh bangsa di dunia ini. Berbagai teori tentang pembangunan telah banyak dikeluarkan oleh ahli-ahli sosial barat, salah satunya yang juga dianut oleh Bangsa Indonesia dalam program pembangunannya adalah teori modernisasi.
Modernisasi merupakan tanggapan ilmuan sosial
barat terhadap tantangan yang dihadapi oleh negara dunia kedua setelah
berakhirnya Perang Dunia II.Pembangunan di pedesaan merupakan sebagian dari
proses pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan
perekonomian wilayah, sekaligus Mengindikasikan perubahan terhadap aspek
kehidupan social ekonomi masyarakat desa. Dampak perubahan yang signifikan
meliputi perubahan mata pencaharian, dimana terjadi pergeseran orientasi dari
sektor pertanian menjadi sektor industri, jasa dan perdagangan yang berkembang
pesat yang terakumulasi dari proses modernisasi dalam perkembangannya. Untuk
memulai perkembangan, dalam historis setiap negara terdapat suatu momen
optimal yang seharusnya mampu diselaraskan dalam berbagai perspektif
baik ekonomi maupun sosial dan politik yang senantiasa dikait dengan sektor
pertanian sebagai sumber penghidupan (way of life dalam perspektif
klasik petani) mayoritas penduduk Indonesia.
Dampak positip maupun negatip pembangunan
ekonomi nasional yang telah dilaksanakan selama ini terhadap perubahan struktur
ekonomi baik nasional maupun pedesaan, dimana terjadi pergeseran baik sektoral,
spasial maupun institusional dan proses transformasi ekonomi. Dampak positip
terutama pada perkembangan tingkat pertumbuhan pendapatan masyarakat pedesaan
yang terkait dengan perubahan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Dampak
negatip seperti pencemaran lingkungan, meningkatnya kecemburuan sosial,
munculnya kesenjangan masyarakat desa-kota, khususnya persaingan meraih
kesempatan kerja dan pendapatan karena perbedaan produktivitas pertanian dan
non pertanian akibat makin terbatasnya lahan usahatani, tingkat pendidikan dan
ketrampilan. Bergesernya nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini dialiniasi
masyarakat desa merupakan dampak negatip pembangunan dalam aspek sosio-kultural
akibat tekanan budaya dari para migran. Dampak negatip ini bukannya tanpa
alasan. Kalau mau jujur, kita harus lebih mafhum atas rendahnya kualitas SDM
pertanian, kondisi pencukupan gizi serta rendahnya proteksi dan jaminan panen
dan pasca panen yang tentunya akan mempengaruhi motivasi para petani untuk
hasrat berprestasi (need for achienement) dalam meningkatkan kuantitas
dan kualitas produk pertaniannya.
Konsekuensinya
adalah sektor pertanian menanggung beban penyerapan tenaga kerja yang berat
yang mengakibatkan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian pedesaan lebih
rendah dibanding sektor non pertanian di perkotaan. Perbedaan produktivitas
tersebut merupakan insentif nyata bagi penduduk pedesaan untuk melakukan
migrasi ke kota (urbanisasi); dimana sebagian besar masyarakat pedesaan, yang
umumnya masih tergolong miskin terutama para buruh tani, merupakan kelompok
yang mengandalkan tenagakerja sebagai sumber
produksi.
Aspek
ketenagakerjaan pertanian yang melibatkan mereka, diharapkan dapat memberi
peluang bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya (bukan sekedar
subsisten belaka).Industrialisasi pada masyarakat pertanian (agraris)di
pedesaan merupakan salah satu penyebab perubahan sosial yang mempengaruhi
sistem dan struktur sosial masyarakatnya. Proses industrialisasi diyakini mampu
mengubah pola hubungan kerja tradisional menjadi modern rasional. Nilai
gemeinschaft antar tenaga kerja dalam kehidupan pertanian tradisional berubah
menjadi gesselschaft. Hubungan antara pemilik dan pekerja (atasan dan bawahan)
yang semula bersifat kekeluargaan (ataupun patron-clien) berubah menjadi
utilitarian komersial. Pola silaturahmi hubungan kekeluargaan dalam system
kekerabatan termasuk frekuensi pertemuan (bertatap muka) akan turut mengalami
perubahan.
Terkait dengan pembangunan industri, dalam
konteks ini yaitu industri pertanian, program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI),
merupakan kebijaksanaan pemerintah di bidang perindustrian gula4. Program TRI
awalnya berkembang di pulau Jawa sekitar tahun 1975, dan mulai diterapkan di
Sumatera Utara sekitar tahun 1986, yaitu: di kabupaten Langkat dan meluas ke
kabupaten Deli Serdang (sekitar tahun 1988)
Modernisasi menjadi sebuah model
pembangunan yang berkembang dengan pesat seiring keberhasilan negara dunia
kedua. Negara dunia ketiga juga tidak luput oleh sentuhan modernisasi ala barat
tersebut. berbagai program bantuan dari negara maju untuk negara dunia
berkembang dengan mengatasnamakan sosial dan kemanusiaan semakin meningkat
jumlahnya. Namun demikian kegagalan pembangunan ala modernisasi di negara dunia
ketiga menjadi sebuah pertanyaan serius untuk dijawab. Beberapa ilmuan sosial
dengan gencar menyerang modernisasi atas kegagalannya ini. Modernisasi dianggap
tidak ubahnya sebagai bentuk kolonialisme gaya baru, bahkan Dube (1988)
menyebutnya seolah musang berbulu domba.
Modernisasi merupakan
sebuah isyu dalam rangka pencapaian proses pembangunan pasca berakhirnya perang
dunia (PD II), yang melibatkan beberapa ilmuan sosial barat sebagai sebuah
tantangan untuk memiliki model pembangunan dan memperbaiki pertumbuhan ekonomi
di negara barat. Berakhirnya era kolonialisasi dan monarkhi memunculkan
beberapa negara baru dengan segala keterbatasannya. Oleh karenanya
negara-negara baru tersebut membutuhkan program pembangunan ekonomi yang kuat.
Dalam konteks itu, maka untuk mengatasi hal tersebut beberapa negara dunia
pertama memutuskan untuk melakukan kerjasama dengan negara dunia kedua.
Hubungan kerjasama ini dilandasi oleh rasa kemanusiaan serta kepentingan
kekuasaan dan keuntungan ekonomi jangka panjang.
Sepertinya Modernisasi
menjadi rujukan utama oleh negara dunia ketiga dan dianggap sebagai
satu-satunya jalan menuju kesejahteraan seperti yang telah dialami oleh negara
dunia kedua. Namun, konsep modernisasi ternyata mempunyai beberapa kelemahan apabila
diterapkan di negara dunia ketiga. Perbedaan budaya merupakan salah satu faktor
pembeda yang utama antara negara dunia kedua dan ketiga. Modernisasi walaupun
berhasil memajukan perekonomian negara dunia kedua namun gagal mewujudkan hal
yang sama pada negara dunia ketiga. Bagi negara dunia ketiga modernisasi tak
ubahnya dianggap sebagai “westernisasi”. Modernisasi dianggap telah
menghilangkan nilai - nilai budaya yang ada. Pada sisi lain, modernisasi akan
menghasilkan suatu pola perkembangan pembangunan dengan mendifusikan secara
aktif segala sesuatu yang diperlukan dalam pembangunan, terutama nilai-nilai
‘modern’, teknologi, keahlian, dan modal.
Di dunia ketiga, pelaku
yang paling aktif dalam proses modernisasi dianggap golongan elit yang
berpendidikan Barat, yang tugasnya adalah melepaskan masyarakat dari tradisi
dan membawa mereka ke dalam abad ke-20. Dalam konteks ini maka modernisasi
merupakan suatu pola pembangunan yang jika hal itu di terapkan oleh dunia
ketiga, maka boleh jadi akan menciptakan kesejajaran antara Barat dan dunia
ketiga. Pada tahapan industrilasiasi, dan ekspansi modal yang merupakan bagian
dari modernisasi adalah sepertinta juga merupakan salah satu faktor penyebab
yang akan mentarnsformasikan secara cepat ketertinggalan, atau kemunduran
tradisi dalam suatu komunitas pedelaman pedesaan.
Paham marxis memandang
bahwa Perkembangan dan keterbelakangan dilihat sebagai sisi berlawanan dari
suatu proses yang sama : perkembangan pembangunan dalam satu kawasan atau
wilayah itu terjadi secara cepat, dikarenakan implementasi pembangunannya
dilakukan diatas biaya dan sumber daya diwilayah lain. Dalam konteks ini,
masyarakat berkembang dan terbelakang turut serta dalam sistem dunia yang sama,
yang dimulai dari ekspansi dan penjajahan kaum kapitalis. Berdasarkan pandangan
ini, keterbelakangan harus dijelaskan dengan mengacu pada posisi struktural
dari masyarakat dunia ketiga dalam ekonomi global dan tidak dengan kemunduran
dari rakyat atau tradisinya.
Ajaran utama dari teori
keterbelakangan (underdevelopment) nampak bertentangan secara langsung dengan
teori modernisasi, dan menandai (paling sedikit) perubahan utama dari penekanan
dalam pemikiran Marxis. Tentu saja, saya berpendapat bahwa diantara kritikus
paling tajam dari teori underdevelopment adalah golongan Marx
(Marxist) yang telah berselisih mengenai konsep kapitalisme dan eksploitasi,
atau yang telah menganggap fokus teori underdevelopment pada
hubungan eksternal berlebihan dan merugikan analisis struktur sosial dan
politik dunia ketiga yang dibutuhkan.
Untuk memperbaiki
ketidakseimbangan ini, beberapa penganut teori telah mencoba menguji bagaimana
mode produksi pra-kapitalis dunia ketiga tertentu mengartikulasikan dengan mode
kapitalis dominan, ketika yang lain mencoba untuk memperbaiki konsep mereka
(misalkan, dari produksi komoditas skala kecil) bahwa kedua mode sama-sama
dapat diterapkan pada dunia ketiga atau Barat. Selain itu, Marxis dan non
Marxis sama-sama telah mengeluarkan nilai heuristik dari faham ketergantungan,
bersamaan dengan kejadian empiris yang diduga memperlihatkan pemiskinan yang
berkelanjutan di dunia ketiga yang di lakukan oleh dunia Barat.
Untuk memenuhi tugas Sosiologi
Untuk memenuhi tugas Sosiologi
Komentar
Posting Komentar