AGRIBISNIS

AGRIBISNIS

Sektor pertanian memiliki multifungsi yang mencakup aspek produksi atau ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan petani atau pengentasan kemiskinan, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Bagi Indonesia, nilai fungsi pertanian tersebut perlu dipertimbangkan dalam penetapan kebijakan struktur insentif sektor pertanian [1].
Kegiatan penyuluhan pertanian adalah suatu proses berkesinambungan untuk menyampaikan informasi serta teknologi yang berguna bagi petani dan keluarganya. Kegiatan ini diupayakan agar tidak menimbulkan “ketergantungan” petani kepada penyuluh, tetapi untuk menciptakan kemandirian petani dengan memposisikannya sebagai wiraswasta agribisnis (Mardikanto, 1993) [2].
Kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani adalah perilaku actual yang diperagakan penyulu sebagai kewajibannya mengemban tugas-tugas pemberdayaan yang diamanahkan kepadanya, yang diukur dari tingkat kepuasan petani. Beberapa kelemahan yang ditemui dilapangan berkaitan dengan kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani, adalah sebagai berikut:
1.      Penyuluh sebagian besar Tidak berdomisili di wilayah kerjanya. Hal ini jelas akan mengurangi efektifitas kinerja.
2.      Balai Informasi Penyuluhan (BIP) sebagai basis kegiatan penyuluh, lebih merupakan perpanjangan tangan Kantor Informasi Pertanian (KIP) di tingkat kabupaten. BIP tidak diberi dana otonom untuk penyelenggaraan kegiatan penyuluhan di wilayah kerjanya.
3.      Belum terselenggara koordinasi yang baik antara lembaga penyuluhan baik di tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten dengan dinas-dinas terkait hubungan dengan pemberdayaan petani. Masing-masing instansi masih bersifat egosektoral dan petani hanya sebagai objek dari sebuah kegiatan pembangunan.
4.      Latar belakang pendidikan, golongan kepangkatan dan jabatan fungsional penyuluh belum optimal mendukung kinerja penyuluhan petani [3].
Dalam rangka peningkatan produksi pertanian khususnya beras untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya yang terus meningkat, pembanguan pertanian sejak tahun 1960-an mengintroduksikan berbagai program. Berbagai program telah dilaksanakan mulai dari Demonstrasi Massal Swasembada Beras (Demas SSB), Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Khusus (Insus), Supra Insus dan sebagainya. Melalui berbagai program tersebut, diintroduksikan berbagai teknologi pertanian modern (benih unggul, pupuk buatan, irigasi dan lain-lain) dan ditumbuhkan kesatuan petani untuk bercocok tanam secara baik dan bergabung dalam kelompok tani untuk mempermudah komunikasi antar petani dan pembinaannya (BPLPP, 1978; Tim Faperta IPB, 1992) [4].
Dalam pengembangan sektor pertanian ke depan masih ditemui beberapa kendala, terutama dalam pengembangan sistem pertanian yang berbasiskan agribisnis dan agroindustri. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan pertanian khususnya petani skala kecil, antara lain (Almasdi Syahza, 2001b):
1.      Lemahnya struktur permodalan dan akses terhadap sumber permodalan. Salah satu faktor produksi penting dalam usaha tani adalah modal. Besar-kecilnya skala usaha tani yang dilakukan tergantung dari pemilikan modal.
2.      Ketersediaan lahan dan masalah kesuburan tanah. Kesuburan tanah sebagai faktor produksi utama dalam pertanian makin bermasalah.
3.      Pengadaan dan penyaluran sarana produksi. Sarana produksi sangat diperlukan dalam proses produksi untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Pengadaan sarana produksi itu bukan hanya menyangkut ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, tetapi yang lebih penting adalah jenis dan kualitasnya.
4.      Terbatasnya kemampuan dalam penguasaan teknologi. Usaha pertanian merupakan suatu proses yang memerlukan jangka waktu tertentu. Dalam proses tersebut akan terakumulasi berbagai faktor produksi dan sarana produksi yang merupakan faktor masukan produksi yang diperlukan dalam proses tersebut untuk mendapatkan keluaran yang diinginkan.[5].
Kendala utama pengembangan pertanian ke depan adalah ketersediaan lahan pertanian. Pengembangan lahan pertanian tidak dapat dipisahkan dari pengembangan infrastruktur irigasi. Keterbatasan pe- ngembangan lahan pertanian di Indonesia diindikasikan oleh penurunan luas lahan pertanian sebesar 0,40%/tahun dalam dua dasawarsa terakhir (1980−2000) [1].


DAFTAR PUSTAKA

[1] T. Sudaryanto and I. Wayan, “Kebijakan strategis usaha pertanian dalam rangka peningkatan produksi dan pengentasan kemiskinan,” J. litbang Pertan., vol. 25, no. 4, pp. 115–122, 2006.
[2] A. S. Bestina, Supriyanto, Slamet Hartono, “Kinerja penyuluh pertanian dalam pengembangan agribisnis nenas di kecamatan tambang, kabupaten kampar,” J. Pengkaj. dan Pengemb. Teknol. Pertan., vol. 8, no. 2, pp. 218–231, 2005.
[3] prabowo tjitropranoto dan asep saefuddin Marliati, sumardjo, pang s. asngari, “FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENINGKATAN KINERJA PENYULUH PERTANIAN DALAM MEMBERDAYAKAN PETANI (Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau),” J. Penyul., vol. 4, no. 2, 2008.
[4] D. Sadono, “konsep pemberdayaan petani: paradigma baru penyuluhan pertanian di indonesia,” J. Penyul., vol. 4, no. 1, 2008.
[5] S. Almasdi, “PARADIGMA BARU : PEMASARAN PRODUK PERTANIAN Abstrak Pendahuluan,” vol. 1, pp. 1–11, 2002.


Untuk memenuhi Tugas Aplikom

Komentar